Saturday, June 30, 2012

Ketika Berumur 16 Tahun: Antara Aku, Mama, dan Mobil Ambulance

30 JULI 2012 BY R. GRAAL TALIAWO

Ketika Berumur 16 Tahun: Antara Aku, Mama, dan Mobil Ambulance
Biar enak membaca catatan panjang ini, silahkan putar setiap lagu yang ditemui, termasuk yang ini….


Ketika itu aku berumur 16 tahun, duduk di bangku SMA kelas dua dan berada jauh dari seberang pulau Halmahera, Maluku Utara, tepatnya di Kota Blitar, Jawa Timur. Ada kisah menyedihkan yang membuatku hijrah ke Kota Proklamasi ini. Kerusuhan antar penganut agama tahun 1999-2000 di Maluku Utara adalah penyebabnya. Konflik kekerasan itu berdampak buruk luar biasa bagi kehidupan dan tatanan sosial masyarakat kampungku. Rusaknya kekerabatan antar keluarga adalah salah satunya. Dan melahirkan ribuan pengungsi termasuk aku adalah akibat yang lain.

Di balik sebuah peristiwa selalu ada hikmah. Itulah hebatnya manusia. Selalu ada usaha pemaknaan dan memaknai apa yang dialami. Kami mengalami banyak kesengsaraan akibat kerusuhan yang tidak perlu ini, karena harus pergi dari rumah dan mengungsi dari satu desa ke tempat lainnya. Mulai dari desa Wayaua yang harus kami tinggalkan, mengungsi ke Desa Tawa, ke Panambuang, kemudian ke desa Sayoang. Dan sebagian lagi kemudian melanjutkan status sebagai pengungsi ke Manado dan Saumlaki.

Namun, karena peristiwa ini juga, aku akhirnya bisa sampai ke Kota Blitar, sampai juga ke pulau Jawa, akhirnya melihat Monas dari dekat, serta bisa naik Kereta Api, dan bisa kembali bersekolah adalah salah satu hikmah di balik peristiwa itu. Tentu ada banyak hal baik lagi yang bisa dipetik dari kerusuhan yang juga merugikan masyarakat Indonesia itu.

Kepergianku ke Kota Blitar, dengan naik Kapal Perang Teluk Bone (511) sekitar bulan September 2000, terjadi berkat belas kasih seorang Kapten Infantri bermana Salamum. Perjalanan melalui laut dari Pelabuhan Babang menuju Surabaya itu dilalui sekitar satu minggu perjalanan. Entah karena apa pak Salamun ini lantas berniat menjadikanku anak angkatnya. Aku awalnya menolak, sebab ajakan itu muncul di saat pertemuan pertama kali terjadi. Sesaat nampak aneh ajakan itu karena memang kami tidak saling kenal sebelumnya.

Bayangkan, ketika Anda sedang berjalan kemudian berpapasang dengan seorang yang tidak dikenal, dan tiba-tiba seorang tua berbadan besar, tinggi, serta hitam itu, dengan tatapan tajam dan diiringi nada tegas itu berucap: kau mau ikut aku ke Jawa?! Sebagai anak muda kecil, dengan trauma konflik antar agama, serta disesaki beragam isu bahwa pada kerusuhan itu aparat TNI memihak kelompok tertentu, aku pun langsung dengan gaya tegas (walau malu-malu mau) berkata tidak mau, pak!

Kami bertemu di desa Sayoang, tempat pengungsian terakhirku—karena sesudahnya aku langsung berubah menjadi warga Kota Blitar. Waktu itu beliau menjabat sebagai Komandan Kompi A di Batalyon Infantri 511 Karang Tengah, Kota Blitar, yang ditugaskan mengamankan tempat kami akibat konflik berbau agama itu. Namun, karena ada beberapa masalah, akhirnya hanya enam bulan aku hidup bersama keluarga dengan satu anak laki (Alfa) dan satu anak perempuan (Omega) itu.

Mamaku berkunjung dan aku menyetir

Sekitar tahun 2002 menjelang aku masuk SMA, mama mengunjungiku. Mama sudah bisa datang mengunjungi sebab suasana kampung kami sudah mulai stabil. Keamanan sudah mulai pulih, dan perdamaian sudah mulai mekar, walau belum nampak indah. Ini kali pertama kami bertemu pasca kepergiannku ke Kota Blitar. Kedatangan mama amat mengemberikan hati. Mama dari Kota Ternate naik kapal laut.

Bertepatan waktu itu ada juga anggota Batalyon 511 yang dipulangkan dari tugas pengamanan di Papua karena sakit. Mobil ambulance Batalyon pun dikirim ke Surabaya untuk menjemput rekan tentara yang sakit itu. Dan kebetulan pula, kapal yang ditumpangi mama sama dengan kapal yang dinaiki oleh tentara yang sakit itu. Akhirnya, diputuskan agar mama juga ikut mobil yang sama: naik ambulance. Karena aku harus sekolah, maka aku menunggu di asrama saja.

Tepat agak siang, sesuai aku balik dari sekolah, dikabari kalau mamaku sudah datang, dan sekarang bersama tentara yang sakit itu di depan pintu masuk asrama. Aku pun segera bergegas menuju pintu masuk itu. Waah, senangnya luar biasa! Mamaku sayang sudah di depan mata. Kami berpelukan dan mama memberikan kecupan sayang kepadaku.

Mama kuberi kejutan. Seusai mengantarkan tentara yang sakit ke klinik Batalyon, sopir ambulance itu lantas memberikan kemudi mobil kepadaku. Mamaku kaget berat, karena anaknya yang kecil ini ternyata sudah bisa mengemudi mobil! Ini juga berkat saran dari pak Suryo. Ayo Obet (nama panggilanku selama di asrama 511), kata beliau, antarkan mamamu ke rumah. Aku pun menyetir dan mengatarkan mamaku ke rumah pak Suryo yang ada di sekitar kompleks asrama 511. Sambil menyetir, sesekali aku melirik dan nampak nyata kalau mamaku masih belum percaya kalau jagoan kecilnya sekarang sedang menyetir mobil.

Aku bisa menyetir dimulai sejak keluar dari keluarga pak Salamun, dan tinggal dengan beberapa tentara bujangan (yang kemudian mereka juga akan jadi bapak angkat tidak resmi) di Seksi Angkutan Batalyon. Waktu itu aku masih berumur 13 tahun, SMP kelas dua. Dan di rumah baru inilah, pak Suryo, salah satu anggota di seksi ini, mengajariku mengemudi bahkan dibimbing untuk belajar memperbaiki mobil yang rusak. Mobil ambulance adalah kendaraan pertama kali yang aku kemudikan. Dengan kendaraan inilah awal mula pak Suryo mengajariku menyetir.

Tempat aku belajar menyetir mobil pertama kali adalah lapangan sepak bola milik Batalyon 511. Jika tidak salah, aku diajari pertama kali di bawah sinar terik mentari. Aku diajari membawa mobil dengan posisi sekadar maju-mundur, tujuannya masing-masing gawang yang ada di ujung lapangan. Maju harus lurus posisi, pun mundur juga wajib demikian.

Dan pada saat mundur harus menggunakan dua kaca “spion”, serta tidak dibenarkan menoleh ke belakang. Salah menggunakan kaki dalam menginjak pedal gas atau kopling, sendal siap melayang ke kepalaku. Atau kadang-kadang aku dapat hadiah ketok jidat atau tepok kepala (tok!) dari sang pelatih galak ini, kalau mengemudi dengan arah yang tidak tentu: serong kiri atau tiba-tiba mencong kanan.

Pak Suryo waktu itu adalah tentara aktif di kesatuan 511, sekaligus orang tua angkat dadakan (karena tanpa ada surat-menyurat) yang menerima dan memperbolehkan aku menginap di asrama bujangan Seksi Angkutan (bagian transportasi Batalyon) pasca keluar dari keluarga Kapten Inf. Salamun. Di rumah beliaulah mamaku akan menginap selama berada di Kota Blitar.

Mamaku relatif lama berada di Kota Blitar, kira-kira sekitar 2 bulan lamanya. Selama di sana aku begitu diperhatikan, tapi aku justru sebaliknya. Jarang sekali aku datang menemui mama di rumah pak Suryo, tempat beliau menginap. Padahal, mama berharap seusai sekolah, aku mampir ke rumah dan menghabiskan waktu bersama beliau. Eh, aku malah kadang terlalu cuek. Selama kurang lebih dua bulan itu, aku hanya sesekali datang menemui mama untuk bercerita dan bermanja ria. Aku pun ndak mau (dan malu) tidur bersama beliau. Waah, dasar anak durhaka!

Aku lebih banyak habiskan waktu untuk otak-atik mobil yang rusak di pangkalan angkutan mobil asrama, sembari terus mengasah kemampuan menyetirku. Hasilnya, aku bisa menyetir mobil truck setir kiri, mobil besar beroda tinggi (tinggi rodanya hampir satu meter) milik Batalyon 511. Entah perasaan apa yang menghantui, sehingga seakan ada jarak antara aku dengan mama.

Walau begitu, setiap hari minggu kami selalu pergi ke gereja bersama. Dan sesekali dengan menggunakan motor, kami berkeliling Kota dan foto bersama di salah satu studio foto di ujung Jl. Bali. Bahkan, tak lupa aku dibelikan satu kemeja abu-abu, satu kaos warna merah, dan satu celana panjang. Maklum, selama berada di Kota Blitar, untuk kebutuhan akan hal ini aku sedikit mengabaikannya. Mamaku pun dengan cekatan memenuhi kebutuhkan sandangku ini. Dan aku pun menikmati apa yang dibelikan mamaku itu.

Setelah lama menikmati suasana Kota Blitar ini, tiba waktunya mamaku untuk balik. Aku seharusnya ikut mengantarkan mama ke stasiun Kota Blitar, tapi entah karena ada kesibukan apa yang tidak begitu penting, aku akhirnya tidak jadi mengantarkan mamaku. Pak Suryo dan keluarganyalah yang mengantarkan mamaku. Waktu itu, mama akan naik Kereta Api dari stasiun Kota Blitar menuju Surabaya. Karena di Surabaya ada kak sepupu, mama berencana untuk mampir beberapa hari ini di sana untuk mengunjungi mereka terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke kampung halaman kami: desa Wayaua, Kab. Halmahera Selatan Maluku Utara.

Mama sakit

Setelah kunjungan tahun 2002 itu, sesekali obrolan antara aku dan mama serta keluarga di kampung terjalin lewat balasan telfon maupun sesekali melalui surat. Dan kabar buruk itu datang sesudah satu tahun pasca pertemuan kami itu. Tepatnya pada awal tahun 2003 kabar bahwa mama telah mengalami sakit keras itu tiba di telingaku. Aku hampir tidak percaya, sebab pada tahun 2002 aku masih bertemu dan bercengkrama dengan mama yang tampil sehat dan bugar.

Pembicaraan tentang sakitnya mama itu terus mengalir di setiap ada kesempatan berbicara selama kurung hampir setengah tahun, baik dengan papa maupun dengan mama secara langsung. Pernah suatu waktu dalam keadaan yang sudah kian melemah, mama ingin mendengar suaraku. Papa lantas mengajak mama ke Kabupaten (Kota Labuha) dan menelfon ke Jawa.

Dari kejahuan, sesekali terdengar suara yang diiringi nada batuk yang sangat menyakitkan. Di setiap pembicaraan aku merasakan mama mengalami sakit yang tidak tertahankan. Dan benar. Sakit kanker payudara yang dialami itu kian merebut berat badan dan sehatnya badan mama. Mama dikabarkan kian kurus dan mengalami penurunan berat badan akibat sakit kanker yang sudah kronis tersebut.

Beragam cara pengobatan sudah dilakukan, mulai dari penanganan dokter hingga pengobatan tradisional. Semua tidak menyembuhkan, mengingat sakitnya sudah terlanjur parah. Bahkan sampai pada titik solusi dari dokter yang paling akhir: payudara mama yang terkena kanker itu harus operasi pemotongan. Solusi ini nampaknya tidak diambil keluarga, karena ditakutkan akan berimplikasi lebih buruk. Mama pun divonis hanya akan mampu bertahan hingga enam bulan.

Aku curiga sakit itu sudah muncul sejak lama, namun mama menyembunyikannya. Ternyata dugaan itu benar. Penyakit yang terlihat di tahun 2003 itu adalah sakit yang sudah terlanjur parah. Sakit kanker payudara yang diderita mama itu sesungguhnya penyakit yang sudah lama dialami, bahkan adalah sakit turunan dari nenek, yang semestinya bisa diobati jika ada keterbukaan sejak semula. Namun, dengar-dengar karena ada unsur sakit hati tertentu terhadap papa dan ada beberapa alasan lainnya, maka mama menyembunyikan sakitnya itu. Padahal, andai kabar tentang sakit kanker itu dikatakan waktu mama ada di pulau Jawa (tahun 2002), kemungkinan untuk operasi dan sembuh bisa diusahakan.

Aku pulang kampung

Akhirnya, sekitar bulan Nopember 2003 keluarga (utamanya papa dan mama) memintaku untuk balik ke kampung halaman. Aku harus balik melihat keadaan mama dan sekaligus keluarga. Dengan segala keamatiranku dalam soal melakukan perjalanan, aku pun memantapkan diri untuk balik. Waktu itu ada seorang saudara dan sekaligus sahabat bernama Benny Ruston yang menolong dalam mengurus pembelian tiket kapal laut (Pelni) KM. Ngapulu, dari perusahaan jasa penjualan tiket.

Ini ada kali pertama aku melakukan perjalanan jauh dan sendiri. Waktu itu aku duduk di kelas dua SMA. Saat itu aku baru berumur 16 tahun, dan harus menelusuri jalan setapak (Blitar-Surabaya) dan laut yang luas (Surabaya-Balikpapan-Palu-Ternate) secara mandiri. Perjalanan kali ini, yang dilalui selama tiga hari dua malam, aku ditemani oleh satu tas ransel besar dan juga satu gitar.

Di atas kapal, aku tidak mendapat tempat tidur. Walau mendapat tiket, tapi tidak untuk tempat tidur. Maklum, keteraturan dan disiplin transportasi laut di negeri ini di waktu itu—entah kalau kini—masih amat mahal. Siapa cepat, dia dapat. Tidak diurus apakah kita menempati tempat tidur sesuai nomor tiket atau tidak.

Akhirnya, ditemani gitar kesayanganku dengan sesekali melantunkan lagu, aku tidur di ruas-ruas jalan di atas kapal itu sembari beralas kartun bekas. Aku menikmatinya dan bersyukur karena kurang dari satu hari satu malam, ada seorang yang dengan baik hati menawarkan tempat tidurnya untuk aku tempati. Karena dia akan segera turun. Kata dia daripada nanti diambil orang, lebih baik aku saja yang menggunakan. Karena toh, aku juga jelas membutuhkannya. Selang berapa hari kemudian, aku pun tiba di pelabuhan Ahmad Yani Ternate.

Sesudah dari Ternate, untuk bisa sampai ke kampung halaman (pulau Bacan), aku masih harus naik kapal kecil lagi, bertiket seratus ribu, dan dengan jarak tempuh enam jam. Kapal dari Ternate (biasanya dari pelabuhan Bastiong) jurusan pulau Bacan-pelabuhan Babang biasanya berangkat jam 23.00, sehingga tiba di sana tepat jam 05.00 atau 06.00.

Sesudah sampai di Babang, aku masih harus melanjutkan perjalanan menuju desa Wayaua. Untuk sampai ke sana, aku bisa menempuhnya melalui darat (naik ojek sekitar satu jam), juga naik kapal yang lebih kecil dengan ongkos 30.000, dan berjarak tempuh sekitar satu jam. Tapi, kalau naik kapal kita masih juga harus naik ojek atau mobil angkutan umum sederhana dari desa Songa melalui darat menuju desa Wayaua.

Bertemu mama yang sakit

Akhirnya, aku pun sampai desa Songa dan bergegas naik ojek menuju desa Wayaua. Dan, sungguh betapa kagetnya aku waktu pertama menjumpai mamaku. Pada tahun kunjungan ke Blitar pada 2002, mama dalam keadaan yang nampak sehat, tetap yang tercantik, dan dengan tubuh yang sangat bugar. Namun, ketika berjumpa di hari itu, tepat di rumah kakek dan nenek, aku sungguh menarik nafas panjang, namun tidak sanggup untuk menangis dan berbuat apapun.

Waktu itu, karena situasi yang panas di kampung, mama dirawat di rumah kakek yang konstruksi bangunannya masih lebih terbuka—karena belum tuntas direnovasi pasca kerusuhan itu—dan berada di dekat pantai, sehingga tiupan angin bisa sedikit menghibur mama yang sedang sakit.

Saat bertemu, aku sungguh tidak tau lagi mau berkata apa, aku membisu sejenak, karena situasi yang ada jauh dari apa yang ada di benakku selama ini. Berulang kali kalimat “tidak apa-apa” dan “mama baik-baik saja”, yang sering diucapatkan lewat telfon saat berbicara denganku, seakan-akan adalah kebohongan besar. Karena aku mendapati mamaku tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mamaku kini dalam keadaan yang sakit parah dan itu menyakitinya! Aku sungguh tidak menerima mamaku disakiti oleh penyakit jahat ini: kanker payudara!

Akibat sakit ini, mama menjadi begitu amat kurus. Antara tulang dan kulit sudah sulit dibedakan. Daging yang menempel di tulang tangan, kaki, daging di seputar wajah, sudah tidak ada lagi. Saking kurusnya, mama akan merasa sakit jika disentuh, bahkan ketika lalat menghinggapi bagian tubuhnya. Lalat menyentuh saja sudah berasa sakit, apalagi bentuk sentuhan lainnya. Inilah yang menyusahkan hatiku, karena bahkan menyentuhnya pun aku harus sangat berhati-hati. Aku tidak leluasa menunjukan rasa kangen dan sayangku kepada mama melalui sentuhan. Padahal, waktu itu aku ingin sekali memeluk mama dengan erat, mencurahkan rasa sayang dan cinta yang besar ini kepadanya. Namun, apa daya, kondisi tubuh mama tidak memungkinkan.

Kurang lebih aku harus berada di sana selama dua minggu. Karena harus kembali melanjutkan studi, mau tidak mau, suka tidak suka, awal bulan Desember 2003 aku direncanakan harus kembali ke Jawa.

Selama di kampung, aku banyak menghabiskan waktu bersama mama. Tidur malam aku selalu bersama beliau. Juga karena harus mengusir lalat yang sesekali coba menyentuh beliau, aku selalu ada di samping mama untuk mengipasinya. Jika malam tiba, kadang di tengah larut mama terbangun dan meminta dikipasi, dan aku akan bangun dan melakukannya. Di saat-saat itu, aku sungguh merasakan kedekatan dan rasa bahagia bisa bersama mama. Aku sangat menikmati hari-hari itu.

Sesekali aku akan membacakan teks-teks Kitab Suci yang mama minta, menyuapi mama untuk makan, dan akan memandikan beliau jika diminta. Sungguh saat itu aku sudah tidak bisa lagi bermanja ria karena mama pasti akan kesakitan jika tubuhnya disentuh. Aku merasa susah hati dan menyesal karena telah banyak melewati dan tidak memanfaatkan waktu-waktu berkualitas bersama mama terkasih.

Di tengah situasi yang kian sedih ini, di suatu waktu, sembari kami duduk-duduk di tangga pintu masuk rumah, papa lantas berkata, apapun situasinya hari ini, Graal tetap harus balik ke Blitar dan melanjutkan studi demi masa depan. Dengan tatapan serius dan dengan nada yang penuh penyesalan beliau juga mengajakku berbicara hal lain. Memang, papa juga mengakui bahwa ada masalah antara papa dan mama, yang membuat mama sakit hati dan dulu enggan mengutarakan sakitnya itu. Papaku memang pernah selingkuh dan itu yang membuat mama sakit hati berat. Untuk hal ini, papa sudah meminta maaf dan telah melakukan pemberesan melalui pertobatan di hadapan pendeta.

Namun, pemberian maaf dari mama tetap tidak mengubah nasib sakit beliau. Sakit hati terhadap sikap buruk papa sudah diselesaikan, akan tetapi akibat dari itu, sakit yang disembunyikan, tidak juga terobati. Nasi sudah menjadi bubur!

Akhirnya, papaku menutup pembicaraan menjelang sore itu dengan satu pertanyaan yang menyakitkan: apakah Graal siap kalau mama dipanggil Tuhan hari ini atau kelak? Dengan tatapan yang tidak bisa apa-apa lagi, selain pasrah, aku pun menjawabnya dengan coba-coba setegar mungkin: ya! Lantas kutambahkan juga, karena Tuhan yang memiliki hidup, maka biarlah Dia juga yang mengambilnya. Aku akan berusaha untuk menerimanya.

Balik ke Blitar dan mama meninggal

Akhirnya, tiba juga waktuku untuk balik ke Kota Blitar. Untuk kali ini, sesuai pembicaraan, papa akan menghantarku hingga Kota Ternate. Jika tidak salah karena masa sekolah sudah akan dimulai, maka aku harus balik secepat mungkin.

Dengan penuh kesedihan aku pun perpamitan ke mama yang waktu itu terbaring di atas tempat tidur. Aku masuk ke kamar depan—dari rumah kakek—tempat mama menghabiskan waktu. Sembari aku mendekati, memeluk mama dengan erat dan menciumnya dengan penuh kasih, hendak berpamitan untuk balik. Mama pun lantas berujar, “sekolah yang baik, dan nanti kalau sudah lulus sekolah, Graal jadi Polisi, ya. Bilang ke papa, biar papa usahakan Graal untuk jadi Polisi.”

Hari ini aku memang tidak jadi polisi, namun pesan untuk sekolah yang baik, aku sedang mengusahakannya. Jika bukan aku, semoga kelak ada anak dan cucu dari mama yang memiliki dedikasi dan panggilan untuk diarahkan menjadi Polisi. Dan biarlah, senyum dari surga itu menghiasa wajah mama karena melihat harapan telah menjadi nyata.

Perjalanan dari desa Wayaua menuju desa Songa pun dimulai. Kalau tidak salah aku bertolak dari Wayaua itu tanggal 2 Desember 2003, kemudian meneruskan ke Ternate (sampai tanggal 3 Desember). Selama perjalanan di malam 2 Desember itu, mata bagian kiriku mengalami gerak aneh, yang belum pernah kualami sebelumnya. Aku sungguh merasa ada rasa kangen yang begitu besar dari mama terhadapku. Aku pun merasakan hal yang sama, sangat merindukan mama. Aku pun berkesimpulan, gerak mata kiri yang terjadi terus-menerus ini adalah tanda bahwa ada rasa rindu dari seorang yang teramat mencintai: mamaku.

Akhirnya kami pun tiba di Kota Ternate, dan segera menuju penginapan, serta cepat-cepat pula bergegas membeli tiket kapal laut menuju Surabaya. Setelah membeli tiket, akhirnya tepat 4 Desember aku harus naik kapal untuk melakukan perjalanan balik, sekaligus meneruskan perjalanan hidupku. Kapal yang kunaiki juga sama dengan kapal sebelumnya, yakni KM. Ngapulu.

Waktunya naik kapal. Papa hanya mengantarkanku hingga pelabuhan. Dan dari kejahuan papa mengamatiku menaiki setiap anak tangga. Segera sampai di atas kapal, aku pun bergegas mencari tempat tidur. Kali ini, aku bisa dapat tempat untuk menaruh kepala, karena penumpang kapal relatif sedikit.

Sesudahnya, aku segera keluar untuk memberikan salam berpisahan sementara buat papa. Dari kejahuan nampak papa juga memberikan lembayan tangan. Aku pun sesekali membalas dan sembari memberikan senyum. Kapal memberikan tanda akan melepas tali ikatan dari pelabuhan, bunyi sirene kapal pun dibunyikan tiga kali (tooommmm….tommmm…tommm…), biasanya kami menyebutnya “stom kapal” atau kapal “su stom tiga kali, itu tanda kapal mau lapas tali….”.

Kapal semakin menjauh dari pelabuhan, dan lembayan tangan papa juga kian tidak terlihat. Ini tanda bahwa aku harus segera masuk dan menikmati istirahat serta perjalanan ini.

6 Desember 2003 aku sampai Surabaya. Setelah dua minggu lebih aku meninggalkan pulau Jawa, kini aku menemuinya lagi. Bahkan, untuk waktu yang akan lumayan lama lagi (3 tahun) untuk kembali meninggalkannya.

Dari Surabaya, aku langsung menuju Kota Blitar. Sampailah sekitar jam 15.00 di Kota Blitar. Aku segera menuju asrama 511. Sesampai di Blitar, aku pun segera menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk masuk sekolah di tanggal 8 Desember 2003.

Akhirnya, waktu sekolah tiba. Aku bersama teman-teman pun masuk, dan seperti biasa untuk berangkat ke sekolah aku dijemput/dibarenggi oleh Benny Ruston. Hari Senin berlalu, aku bisa melalui dengan senang dan gembira. Sembari terus menunggu kabar kesehatan dari mamaku tersayang. Hari berikutnya, Selasa (9/12), kami juga masuk seperti biasa dan melaluinya dengan tawa dan canda layaknya anak baru gede.

Tepatnya pada hari Rabu, 10 Desember 2003, siang itu di saat aku sedang menikmati belajar, ada telfon berdering dan diikuti panggilan dari kantor sekolah. Bahwa siswa yang bernama Graal Taliawo segera ke kantor, ada panggilan telfon. Dengan santai aku segera menuju kantor, santai karena sudah sering ada panggilan telfon untuk diriku.

Sesampainya di kantor sekolah, aku langsung saja mengangkat gagang telfon itu. Ternyata, di ujung sana terdengar ada suara ibu dengan nada senduh khas orang Jawa menyapaku: halo nak Graal, ini bu Suryo (istri pak Suryo). Oh, ya bu, jawabku cepat. Ya, ada apa, bu Sur? Le dirimu ndak merasakan apa-apa kah?, tanyanya. Aku menjawab tidak ada bu, biasa-biasa saja. Ndak ngipi opo-opo le?, tambahnya. Tidak bu, aku menjawab lirih.

Dalam benak, aku sudah menduga kuat bahwa akan ada berita yang menyedihkan. Dan ternyata itu benar! Suara Bu Suryo membuyarkan imajinasiku, dengan berkata: le, ibumu wes ndak enek (Nak, mamamu sudah ndak ada: sudah meninggal). Sing tabah, ya nak, sambung bu Sur.

Bu Suryo diminta menyampaikan berita sedih ini kepadaku, karena selain rumah beliau yang dihubungi, pak Suryo dan bu Suryo dikenal sudah seperti orang tuaku sendiri, sehingga dirasa lebih tepat jika mereka yang menyampaikannya kepadaku.

Mendengar berita itu, duniaku segera menjadi nampak berbeda sesaat itu juga. Suasana gembira ala anak muda tidak lagi bisa kunikmati, walau riuh suara teman sebayaku terdengar dari seberang kelas. Tatapan mataku segera menjadi kosong. Tembok sekolah segera menjadi sasaran sorotan mata protesku. Aku sungguh mau pingsan, namun tidak bisa. Aku hanya bisa diam, tidak bisa berkata apa-apa, selain segera menutup telfon itu dengan ucapan terima kasih, bu Sur. Beliau menyarankan aku segera pulang ke asrama, agar bisa menenangkan diri sejenak. Aku pun mengiyakan.

Di antara sahabat, aku kemudian memanggil Benny, dan bercerita kepadanya. Aku mengajaknya menuju ke kamar mandi dekat kelas kami. Benny, kataku, mamaku meninggal Ben. Mamaku telah tiada, sudah dipanggil Allah Sang Pencipta. Dengan gaya menahan tanggis, aku mengatakan hal itu kepadanya. Benny pun lantas memegang bahuku sebagai tanda dia juga ikut sedih dengan situasi yang aku alami. Aku lantas berpesan kepadanya jangan menceritakan ke yang lain dulu.

Untuk sementara waktu, biarlah berita duka ini cukup beredar di antara kita berdua. Teman-teman kelas yang lain belum kami beritahu, ada waktunya aku akan bercerita kepada mereka. Toh, mereka juga mulai bertanya mengapa aku balik dan tidak melanjutkan belajar di kelas. Ya, sesudah mengabari Benny, aku memintanya mengantarkanku pulang ke asrama. Selang beberapa hari, Benny juga memberikan lima kutipan dari tulisan Kahlil Gibran tentang maut (kematian). Semuanya sangat berkesan dan menguatkan.

Kukutipkan beberapa di antaranya:

“Maut adalah akhir bagi anak bumi, tetapi bagi jiwa ia adalah awal kemenangan kehidupan”

yang lain:

“Manusia adalah seperti buih di laut, yang terapung di atas permukaan airnya! Ketika angin bertiup ia bilang seolah-olah tidak pernah ada, demikianlah kehidupan kita ditiup oleh maut.”

Kesedihan kian menjadi, saat aku tiba di kamar asrama. Waktu itu juga sedang sepi. Para prajurit penghuni kamar bujangan itu, juga tidak kelihatan. Mereka sedang sibuk dengan tugas-tugasnya. Aku pun dengan leluasa menangis dan meluapkan kesedihan itu dalam kesendirian. Aku menangis histeris dan sungguh-sungguh larut dalam kesedihan itu. Tak ada orang yang menemani untuk menghibur.

Yang juga membuatku sedih adalah karena mama harus pergi tanpa ada satu pun anak terkasih yang berada di sampingnya. Kakakku (Lessda) waktu itu juga harus menyiapkan kuliah ke Kota Malang pasca lulus SMA dari Tomohon, Sulawesi Utara. Dan aku masih harus berjuang di Kota Blitar. Ya, aku pun sendiri melewati isak tangisku itu. Dengan Alkitab di tangan, walau tanpa tujuan jelas aku mau ngapain dengan Kitab Suci ini, namun yang pasti, seakan ada kekuatan yang terberi ketika mendekapnya dalam menghadapi kesedihan itu.

Kini mamaku sudah di alam surga, kurang lebih telah delapan tahun kami berpisah. Kini aku hanya bisa menangisinya, jikalau sesekali rasa kangen itu menghampiriku. Namun, aku pun sadari bahwa mama pasti memberikan senyumnya dari kejahuan buatku, si jagoan kecilnya yang pernah mengangetkan karena bisa menyetir mobil ambulance. Mama sudah lebih bahagia dan menikmtai cinta dan kasih sayang dari Allah yang maha mencukupkan itu.

Karena cinta dariku (manusia) pasti terbatas, bisa redup, dan kadang-kadang egois, maka aku ikhlaskan dengan sangat untuk mama menikmati cinta tak terbatas dari Yang Punya Hidup ini. Dan semoga, kebahagiaan yang sesungguhnya itu juga kami (manusia) bisa mengalaminya, ketika Yesus Kristus segera datang atau pun tiba saat kita dipanggil-Nya.

Kematian kadang sulit dipahami oleh bahasa manusia. Kita sering hanya sanggup meresponnya dengan tangis dan banjir air mata. Mungkin, itulah bahasa lain yang bisa menolong kita dalam merespon kematian, ketika bahasa verbal tidak lagi memenuhi gairah dan mewakili kesedihan dalam batin kita. Aku sungguh bersyukur kepada Allah Sang Pencipta melalui adanya tahap hidup yang menyedihkan ini. Karena kutau, dalam kesendirian itu, aku dikuatkan-Nya menghadapi dan memaknai arti sebuah kematian.

Penutup: refleksi karena foto

Entah mengapa, siang ini (29 Juli 2012), aku tergerak membuka kembali lembar-lembar lama. Awalnya hanya ingin melihat kembali koleksi buku-buku lama, termasuk hendak membaca kembali UU Pokok Reformasi Agraria. Namun tanpa sengaja fotoku bersama mama waktu 2002 itu terlihat. Foto lama ini masih terlihat indah dengan wajah mama yang nampak cantik.

Lama menatap foto itu tiba-tiba hatiku terenyuh sedih, perlahan hatiku kian hancur, dan rasa kangen itu kian menjadi. Aku pun menangis terseduh-seduh dan sejadi-jadinya di tengah lantunan lagu “Di Doa Ibuku Namanku Disebut”. Sungguh refleksi melalui foto ini telah mengingatkanku banyak hal tentang masa-masa indah dulu. Masa di mana aku masih bisa menikmati cubitan mama dan amarah mama di kala kenakalanku menunjukan rupa.

Kini, keterpisahan jasmani antara kami dan mama telah terjadi. Kami tak bisa protes kepada Allah atas peristiwa itu, selain mengambil didikan penting dari padanya. Karena untuk banyak peristiwa, termasuk saat kematian menjemput sekalipun, terkadang kita tidak bisa berbuat banyak, selain mendidik diri melalui setiap hikmah darinya.

Semoga mama tetap memberikan senyum cantik bagiku dan kami dari jauh. Dan kami dalam keseharian, baik sekarang maupun yang akan datang, akan terus berusaha untuk “sekolah yang baik” dan memberikan yang terbaik dari diri ini demi Kehidupan dan Allah.

Adegan demi adegan kehidupan ini adalah kisahku (kami) di tahun yang lampau. Namun, mengingatnya kembali membuat ada rasa syukur kepada Allah yang teramat besar. Dia yang berkuasa dan berdaulat serta mencipta, Dia juga yang berhak mengatur bahkan mengambilnya. Dan bagi kita (aku) mari memberi makna dan memaknai segala peristiwa apa pun yang (pasti) tidak kebetulan itu. Karena (kita) aku tau, segala sesuatu memang selalu indah pada waktunya!

No comments:

Post a Comment