Monday, February 28, 2011

Kubiarkan Cucuk Kemaluannya Adik dalam rahimku

Jika ada yang tahu, siap akami yang sebenarnya, mungkin orang akan merajam kami. Karena kami adalah dua orang bersaudara kandung. Aku Rika, 21 tahun dan Adikku Anton berusia 16 tahun. Hanya kamilah anak ibu-bapa kami.
Sejak kecil, kami diajarkan untuk akrab dan saling menyayangi. Kami bermain bersama bahkan tidur pun sekamar, walau kami sudah sama-sama akil baliq. Ayah seorang saudagar. Sering pergi ke luar dari desa kami. Mungkin di sana pula kesalahanku, tidak mengetahui persis pekerjaan ayahku. Akhirnya baru kami ketahui, kalau ayah adalah salah seorang pimpinan pemberontak di daerah kami. Ketika ayah tidak pulang berbulan-bulan, ada saja orang yang selalu mengantarkan bungkusan buat ibu. Bungkusan itu berisi uang yang banyak sekali. Ibu pun memberikannya emas padu, lengkap dengan surat-suratnya. Haya aku yang tahu, dimana emas batangan itu disimpan ibu bersama dengan uang yang dibungkus plastic dengan rapi.
Pada satu malam, desa kami diserbu dan dibakar. Ibu bilang, aku harus lari membawa bungkusan dalam ransel, berisi pakaian dan uang yang banyak. Serta beberapa batang emas murni dalam ranselku dan ransel adikku.
“Cepat lari dan selematkan diri kelian. Kalau masih di sini, kelian pasti mati,” begitu ibu berkata tegas. Kami pun melarikan diri menyusuri jalan setapak menuju hutan dan mengendap-endap dengan adikku. Kami kasihan melihat ibu tinggal sendiri di rumah.
Dari kejauhan, kami melihat letusan senapan yang luar biasa berentetan dan tak lama api membesar dengan asap yang menjulang ke langit sore hari itu. Orang-orangpun berlarian. Aku dan adikku Anton mengendap di sebuah gubuk sepi. Beberapa orang melintas di gubuk dan kami kenal, kami memanggilnya untuk biasa menjadi teman kami. Orang itu pun menyeret kami menjauhi kampong menuju hutan. Dari merekalah kami ketahui, kalau banyak penduduk desa yang mati ditembak membabi buta. Mereka bercerita kalau orangtua mereka juga ditembak sama seperti ibuku karena di rumah kami dan rumah mereka ditemukan senjata api dan amunisi dala kamar tidur. Baru aku ketahui, kenapa ibu selama ini melarang kami memasuki kamar tidurnya.
Adikku Anton menangis. Aku juga. Tapi teman-teman kami mengatakan, tak ada gunanya menangis, karena tangis membuat kita lemah dan mati konyol. Yang hidup harus menyelamatkan diri. Kami pun terus berjalan. Sampai pada tempat yang kami anggap aman.
Besok paginya kami mengendap kembali ke desa kami. Aku berhasil menggali tanah di reruntuhan rumah kami. Aku tahu, ibu menanam beberapa potong emas padu dan aku masih menemukan empat batang emas padu dan membagi dua untuk membawanya dengan adikku. Dengan mantap hati, aku mengajak adikku merantau. Kami menyusur jalan dan menaiki bus dengan dua ransel.
Tiba di kota Medan, kami menginap di hotel. Dalam kamar hotel itu, aku membuka ransel. Dalam ranselku ada beberapa potong pakaian dan uang ratusan juta. Demikian juga dalam ransel adikku. Aku membawa empat enam batang Emas Padu dan adikku membawa delapan batang. Dalam ranselku ada selembar map kuning. Aku membukanya. Dalam map itu ada selembar surat pindah dan sebuah buku nikah. Fotoku dan foto adikku. Dalam surat nikah itu, aku adalah isteri adikku dimana identitas adikku dibuat berusia 21 tahun sama dengan usiaku. Kuminta adikku memeriksa map yang ada dalam ranselnya, ternyata sama. Kami saling menatap. Aku pun berpikir, ternyata semuanya sudah dipersiapkan oleh ibu dan bapa kami. Ternyata kepala desa kami, sudah mengetahui kejadian bakal terjadi.
Dengan naik kapal, kami menyeberang Pulau yang dikatakan akan kami tuju dalam surat pindah kami yang ditandatangani oleh Kepala Desa dan Camat. Aku gak mengerti, apakah surat pindah itu asli atau palsu. Tapi aku hafal betul tandatangan pak kepala desa, yang juga kabarnya mati terbunuh, karena ikut juga dalam pemberontakan.
Setelah naik kapal selama seminggu, kami tiba di sebuah pulau yang besar dan kami kembali menginap di hotel. Beberapa hari menginap di hotel kami menemukan rumah mungil yang langsung kami beli. Kemudian kami mengurus surat pindah kami kepada Lurah setempat. Ternyata semua bisa selesai dengan uang.
Seperti biasa kami tidur sekamar. Bahkan kali ini, kami tidur seranjang, karena kami sama –sama takut di tempat yang baru. Aku pun memasuki Serikat Tolong Menolong. Ikut dalam kumpulan pengajian. Aku selalu tersenyum, bila aku dipangil Bu Anton. Yang mereka ketahui, Anton adikku adalah suamiku.
Yah… kami harus punya anak. Tapi, Anton adalah adikku. Kalau tidak, akan terbongkarlah semuanya. Bisa-bisa kami akan dilaporkan sebagai anak pemberontak dan kami ditangkap atau… Berjuta pikiran. Haruskah aku mengatakannya pada Anton, kalau kami harus punya anak? Haruskah aku mencari laki-laki lain untuk menghamiliku? Tak mungkin, karena aku adalah orang baru.
Malam itu, aku dengan dada bergetar antara rela dan tidak, mulai memeluk Anton dalam tidur. Anton menatapku dan tersenyum, lalu membalas pelukanku. Duh… adikku, haruskah aku berterus terang? Mulutku tak mampu mengucapkan kata-kata. Aku mengelus rambut adikku yang memang sangat manja padaku. Perlahan kudekatkan bibirku ke bibirnya dan membayangkan pacarku entah dimana dia kini. Tapi pacarku itu juga sudah berbulan tak pulang bahkan aku dengar kabar di tertembak dalam sebuah operasi.
Haaaa…. Bibirku disambut Anton dengan lembut. Bakan Anton lebih dulu memainkan lidahnya dalam mulutku. Sudah berbulan tak berciuman, aku jadi bergetar dan membalas ciuman itu dengan lembut pula. Kini tangan Anton malah meraba-raba tubuhku dan aku terangsang. Kuarahkan tangannya meraba tetekku.
“Kak… sudah lama aku menginginkannya,” bisiknya. Aku tersenyum
“Lakukanlah kehendakmu, Dik. Bukankah aku isterimu? Kita sudah punya surat nikah?
“Tapi kak?”
“Tidak ada tapi-tapian lagi. Mulai sekarang panggil saja namaku atau apa, jangan panggil lagi aku kakak, terlebih di depan orang lain…” aku pun meraba kemaluan Anton. Kami berpelukan dan aku membuka pakaianku dan bertelanjang. Aku melihat Anton menatap tubuhku yang telanjang dengan melotot. Seakan biji matanya akan keluar.
“Sekarang, kamu juga harus buka pakaianmu. Aku isterimu, perlakukanlah aku sebagai isterimu. Mulai sekrang aku milikmu dan kamu tak boleh bermanja lagi. Kamu harus bertanggung jawab pada isterimu, seperti ayah yang penuh tanggungjawab pada ibu,” kataku tegas dalam bisik.
Anton membuka pakaiannya dan bertelanjang. Kemaluannya begitu tegang. Kami berpelukan lagi dan berciuman. Kuarahkan tangannya meraba-raba vaginaku dan kuarahkan pula mulutnya untuk mengisapi tetekku bergantian kiri dan kanan. Aku begitu horny. Aku harus melupakan Anton adalah adikku. Kami beruda harus selamat. Bagaimana nanti, kami harus bercerai secara resmi dan Anton harus menikah dengan perempuan lain.
Aku sudah tak mampu membendung keinginanku. Kuminta Anton menaiki tubuhku untuk menyetubuhi diriku. Anton melakukannya. Berkali-kali Anton gagal memasukkan kemaluannya ke dalam lubang vaginaku. Haruskah aku aktif menuntunnya? Tak ada jalan lain. Aku pun menuntun kemaluan Anton untuk menusuk masuk ke dalam lubang kemaluanku. Anton mulai menekannya. Aku kesakitan. Kubisiki dia akan perlahan-lahan saja. Aku merasakan tusukan itu semakin dalam dan aku merasakan sakit dan perih.
“Tahan dulu, sayang…”
Anton menahan sebentar dan kuarahkan agar dia terus mengisapi tetekku. Kubisiki pula agar dia kembali menekan lebih dalam lagi setelah rasa perih sedikit berkurang. Kemudian aku meringis lagi memintanya menahan kemaluannya. Kemudian setelah perihnya terasa berkurang, aku minta anton menekannya. Anton menekannya lebih kuat sampai semua kemaluannya memasuki lubang sengamaku. Aku merasakan sangat kesakitan dan aku menjerit kecil.
“Maaf, kak. Sakit kak?” Anton kasihan padaku.
“Aku sudah bilang, mulai sekarang kamu tidak boleh lagi memanggilku kakak. Mengerti?”
“Maaf, aku lupa. Jadi aku harus pangil apa? Terserah. Boleh panggil namaku atau apa yang kamu suka.” Anton diam. Aku mengelus punggungnya. Aku menyesal juga memarahinya yang polos. Mungkin dia baru hanya sampai pada taraf berciuman saja dengan pacarnya. Setelah rasa sakit berkuarang, aku minta Anton menarik cucuk kemaluannya. Anton melakoninya dan perlahan dia menarik dan mencucuk kemaluannya. Sedikit terasa perih. Anton terus melakoninya, sampai rasa perih sudah berubah lain. Gesekan pada dinding rahimku, membuatku mulai menikmatinya. Aku mengelus-elus kepalanya. Tanpa sadar aku meneteskan air mataku.
“Kenapa Menangis, Kak? Sakit?”
“Aku tak mau dengar lagi kamu memanggilku kakak. Mengerti?”
Anton kembali meminta maaf dan terus menarik cucuk kemaluannya dalam rahimku. Rahimku terasa begitu penuh. Kuarik tengkuknya dan aku mencium bibirnya. Kami berpagutan. Secara reflek, Anton mulai mempercepat kocokan kemaluannya dalam lubang rahimku yang penuh. Aku pun mulai menikmatinya dengan penuh. Kami berpelukan dan saling berciuman. Anton melenguh penuh nikmat. Aku juga tak mampu membendung rasa nikmatku dan terus mendesis. Kami saling merespon dengan reflek juga. Akhirnya, Anton menekan kuat tubuhku dan aku memeluknya juga dengan kuat. Aku sudah tak mampu membendung kenikmatanku dan aku merasakan kenikmatan yang tak pernah kutemukan selama hidupku. Selama ini, aku hanya meraba-raba klitoisku untuk mendapatkan kenikmatan, secara sembunyi-sembunyi. Atau aku memeluk bantal guling, sembari membayangkan wajah kekasihku sedang mencumbuiku. Aku sudah sampai dan aku tahu Anton juga akan sampai, hingga dia mempercepat tusukannya dengan keras dan menahannya sampai aku merasakan tumpahan spermanya yang hangat. Anton melenguh setelah tiga kali menyemprotkan sperma hangatnya.
Aku sengaja tersenyum padanya.
“Aku bangga pada Papa. Papa hebat,” kataku sengaja mengucapkan kata papa padanya, agar dia tahu maksudku, walau sebenarnya aku merasa geli mengucapkan kata itu.
“Iya, Ma. Mama juga hebat,” bisik Anton. Mulai saat itulah aku dan Anton mulai menyebut diri kami dengan kata Papa dan Mama.
===== TAMAT ====

No comments:

Post a Comment